1
Featured

SMS PENGADUAN

Joomla Random Flash Module by DART Creations

CALL CENTER

Joomla Random Flash Module by DART Creations

Facebook Fans

News Flash

P3 SPS 2009

 

Read more...

SIARAN PERS

  • KPI Tetapkan 6 Program Bermasalah
  • KPI Tetapkan 11 Program Bermasalah

Login Form

Twitter

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepulauan Riau pertama sekali terbentuk pada Juni 2005 dengan pengangkatan anggotanya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepulauan Riau No. 51/SK/VI/2005  dengan tujuh orang anggota saat itu Hendriyanto, Aulya Indriaty, Lisya Anggraini, Desliana Dwita, Noerwandi, Adrian Indra, dan Ardian Yulianto, dengan masa jabatan tiga tahun.

Pada September 2008, dilantik anggota KPID Kepri periode kedua berdasarkan SK Gubernur Kepulauan Riau No. 326 Tahun 2008 dengan tujuh orang anggota yaitu Amril, H. Jamhur Poti, Noerwandi, Desliana Dwita, Aulya Indriaty, Tony Kusuma Wijaya, dan Parlindungan Sihombing, dengan masa jabatan hingga 2011.

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa KPI terdiri atas KPI pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi.  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran dan merupakan representasi publik di bidang penyiaran. Keberadaannya dituntut berpihak pada kepentingan publik, sehingga dalam setiap kebijakan selalu didasarkan semangat penguatan demokrasi dan civil society.

Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lainnya. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).

Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.

Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.

Maka sejak disahkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (Independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan.

Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang.

Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan politik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 dalam semangatnya melindungi hak masyarakat secara lebih merata.