Oleh : Desliana Dwita, SIP*

Dalam pemahaman awam, proses reformasi tahun 1998 di Indonesia adalah proses tumbangnya sistem politik otoriter menuju sistem demokratis. Salah satu agenda reformasi menuju sistem demokratis di bidang penyiaran yaitu dengan penciptaan ruang publik. Suatu area di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar-pikiran dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa.  

Area dimana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi dan bertukar pikiran tersebut dalam dunia penyiaran bisa dikategorikan termasuk dalam Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK). Pasalnya, keduanya didefenisikan dalam UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan lembaga penyiaran yang bersifat independen dan tidak komersial. Sedangkan perbedaan keduanya, lembaga penyiaran publik berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat, sedangkan lembaga penyiaran komunitas untuk melayani komunitasnya yang notabene juga merupakan bagian dari masyarakat yang tergabung dalam kelompok tertentu. Karena itu daerah jangkauan siaran untuk LPK dibatasi, sebab siarannya tidak melayani masyarakat umum dalam jumlah yang banyak.

Berdasarkan fungsinya yaitu area tempat masyarakat berinteraksi, bertukar-pikiran serta mampu memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat secara independen dan tidak komersial, maka LPP dan LPK khususnya jasa penyiaran radio, cocok mengudara di tengah masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil. Sedangkan dua jenis LP yang lain, yaitu Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) sangat tidak mungkin mengudara di daerah pedesaan karena berorientasi bisnis dan kecil kemungkinan ada pemasang iklan di daerah tersebut.   

Sedangkan kenapa jasa penyiaran radio yang dipilih, hal ini terkait dengan kondisi sosial masyarakat pedesaan yang bertradisi lisan dan menghabiskan waktunya di depan radio. Radio publik dan radio komunitas tidak hanya sekedar memberikan informasi, tetapi bisa juga menjadi jembatan komunikasi antar warga tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Radio juga merupakan alat sederhana yang umum dimiliki masyarakat. Hanya dibutuhkan telinga dan radio transistor, dan mereka juga tidak butuh belajar untuk bisa menggunakan radio.

Untuk wilayah Kepulauan Riau yang memiliki banyak pulau yang berdekatan dengan negara luar dan sulit terjangkau, LPP dan LPK juga pilihan tepat untuk dijadikan sarana komunikasi bagi masyarakat hinterland. Karena di daerah tersebut masyarakat sulit mendapatkan informasi dari negeri sendiri. Sulit, bisa disebabkan karena siaran Indonesia tidak bisa ditangkap dengan jernih atau bersih di wilayah tersebut, bisa juga karena siaran yang dapat ditangkap oleh perangkat penerima siaran di daerah itu hanya siaran dari negara luar yang letak geografisnya sangat berdekatan.

Jika memilih LPP sebagai sarana penyampaian informasi untuk masyarakat hinterland, maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan. LPP yang kita kenal berupa TVRI untuk jasa penyiaran televisi dan RRI untuk jasa penyiaran radio, berdasarkan UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran mendapatkan sumber pembiayaan diantaranya dari APBN atau APBD dan sumbangan masyarakat. Jadi, bila pemerintah daerah setempat merasa perlu memberikan informasi dari daerah sendiri untuk meningkatkan rasa nasionalisme serta memperkukuh integrasi nasional yang merupakan beberapa tujuan dari penyelenggaraan penyiaran, maka siaran LPP bisa dihadirkan di masyarakat hinterland dan pulau-pulau terluar dengan membangun stasiun relay atau tower di daerah tersebut. Karena dalam UU penyiaran disebutkan LPP lokal hanya dapat didirikan di daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Selain itu, dari segi efektifitas waktu, fasilitas dan Sumber Daya Manusia, sangat tidak memungkinkan jika harus membangun sebuah LPP di sana.

Selain LPP, solusi terbaik jika ingin membangun sarana komunikasi untuk masyarakat hinterland adalah dengan mendirikan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) khususnya jasa penyiaran radio. Biaya yang diinvestasikan untuk radio komunitas relatif terjangkau, hanya dibutuhkan seperangkat komputer, tiang pemancar sederhana, dan peralatan radio yang biasa. 

Mengutip tulisan dalam Buletin Kombinasi terbitan Combine Resource Institutions, sebuah lembaga di Yogyakarta yang sejak awal menggunakan radio sebagai alat advokasi  komunikasi, disebutkan bahwa radio di pedesaan adalah saluran komunikasi yang menjangkau masyarakat dengan cakupan yang paling luas dari seluruh lapisan sosial yang ada. Media ini menggunakan teknologi sederhana, yang terjangkau, mudah, dan murah. Selain itu, bagi pengelola radio komunitas, mereka dapat menciptakan satu stasiun radio, hanya dengan bermodalkan 2 juta rupiah saja. Kenyataan ini memberikan dukungan bahwa alur komunikasi akan lebih mudah terwujud, dan suara masyarakat akan lebih terdengar.

Selain masyarakat terlibat langsung di dalamnya, pemerintah daerah setempat juga dapat memanfaatkan radio komunitas untuk memperoleh masukan dari komunitas tentang bagaimana sebuah kebijakan dilaksanakan.

Sebelum mendirikan radio komunitas, ada empat tipe radio komunitas yang harus diketahui untuk menentukan program dalam bersiaran. Tipe pertama, radio komunitas berbasis komunitas seperti masyarakat adat, masyarakat desa, pemulung sampah dan lainnya. Tipe kedua, radio komunitas berbasis isu, misalnya isu pendidikan, lingkungan, pembangunan kota, seni budaya dan pemuda. Tipe ketiga, radio komunitas berbasis hobi, berupa musik, motor dan lainnya. Tipe keempat, radio komunitas berbasis kampus.

Jika radio komunitas yang dipilih adalah berbasis masyarakat desa atau masyarakat nelayan, maka radio komunitas itu harus didirikan oleh kumpulan masyarakat desa atau nelayan di daerah tersebut. Radio komunitas harus didanai oleh masyarakat pendukungnya karena merupakan sarana penyampaian pesan atau memecahkan masalah yang ada di sekitar lingkungannya. Meski begitu, di dalam UU penyiaran disebutkan LPK dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Namun, LPK tidak boleh menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing.

Saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 300 radio komunitas. Radio-radio komunitas tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang sebagian di antaranya telah mengorganisasikan diri dalam organisasi Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Jaringan Independen Radio Komunitas (Jirak Celebes), dan beberapa organisasi lainnya.

Radio komunitas merupakan salah satu bagian dari sistem penyiaran Indonesia. Keberadaan radio komunitas untuk masyarakat hinterland di Kepulauan Riau selain sebagai penyampai informasi dari masyarakat untuk masyarakat, misalnya informasi harga ikan dan pasang-surut air laut, juga salah satu cara meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa mereka bagian dari masyarakat Kepri yang berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, mencerdaskan bangsa, serta upaya mewujudkan salah satu strategi pembangunan Provinsi Kepulauan Riau yaitu melaksanakan pembangunan fisik dan non fisik yang seimbang secara bertahap dan berkelanjutan, dimana dalam pembangunan non fisik termasuk diantaranya bidang penerangan, komunikasi dan media massa.***

*Desliana Dwita, SIP, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kepri

** Pernah dimuat di Harian Batam Pos, Kamis 31 Agustus 2006