Siaran Pilihan di Perbatasan
Oleh : Desliana Dwita, SIP
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepulauan Riau
Apa yang menarik dengan dunia penyiaran di Kepulauan Riau? Siaran Negara tetangga bisa ditangkap dengan jernih tanpa harus menjadi pelanggan TV berlangganan atau memasang antenna parabola. Cukup menancapkan antenna TV biasa, seluruh tayangan televisi milik Mediacorp Singapura bisa dinikmati dengan jelas. Mulai dari Channel 5, Suria, U Channel, Channel News Asia, Channel 8, Arts Central, dan Kids Central. Belum lagi siaran televisi Malaysia seperti TV 9, RTM 2, TV 3, TV 2, TV 1, serta beberapa yang ikut memenuhi channel televisi masyarakat Kepri selain RCTI, TVRI, SCTV, Trans TV, TPI, serta belakangan hadir Indosiar dan Metro TV dengan kualitas gambar yang masih belum sempurna. Ditambah lagi dua stasiun televisi lokal, yaitu Batam TV dan Semenanjung Televisi.
Begitu pula dengan radio. Siaran radio Singapura seperti Warna, Ria, Class, Symphony, Yes, Gold, Capital, juga dapat ditangkap dengan kualitas audio yang jauh lebih bersih dibanding siaran radio lokal Kepri.
Hal ini mungkin juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia yang letaknya berbatasan atau berdekatan langsung dengan Negara luar. Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua, misalnya. Tapi jumlahnya bisa jadi tidak sebanyak di Kepulauan Riau. Begitu banyak dan membuminya siaran radio dan televisi Negara tetangga, jangan heran jika masyarakat Kepri terutama anak-anak yang berpotensi meniru, lebih mengenal lagu “Majulah Singapura” daripada ”Indonesia Raya”.
Pengalaman menjalani masa kecil di kota Tanjungpinang yang saat ini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau, mengingatkan saya begitu pentingnya peran kotak ajaib bernama televisi dalam membentuk kepribadian serta rasa cinta tanah air dan bangsa. Ketika itu, di era 80-an, saya bersama teman-teman pernah berlomba-lomba menyanyikan dengan lantang lagu kebangsaan milik negara berlambang Singa itu di halaman rumah. Pasalnya, televisi Singapura tak henti-henti memperdengarkannya dalam rangka memperingati hari ulang tahun Singapura. Indonesia ketika itu baru memiliki TVRI dengan kualitas tangkapan siaran yang tidak begitu sempurna sampai ke daerah. Meskipun saat upacara bendera di sekolah, lagu ”Indonesia Raya” sangat hafal dilagukan, kembali ke rumah dan menghidupkan televisi, lagu kebangsaan negara tetangga terdengar lebih enak untuk didendangkan.
Sekedar hafal dan mendendangkan lagu kebangsaan negara lain mungkin tidak berpengaruh apa-apa jika itu dilakukan oleh orang dewasa yang sudah sangat paham dan mengerti tentang nilai-nilai kebangsaan dengan rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negara dan bangsa Indonesia. Tapi jika sebuah harapan agar negara lain maju dalam bait demi bait lagu yang terungkap dari mulut bocah-bocah yang belum paham akan makna cinta tanah air dan bangsa, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi?
Meskipun berimplikasi negatif, ada sisi positif yang bisa diambil dari tayangan televisi Malaysia dan Singapura. Tanpa sadar, kepribadian anak-anak seusia saya di kala itu banyak dipengaruhi tayangan televisi negara tetangga. Ketika itu, drama seri keluarga ”Opah” yang ditayangkan televisi Malaysia menjadi tontonan favorit keluarga di Tanjungpinang. Drama yang mengangkat kisah seorang nenek yang mencintai anak dan cucunya ini menjadi contoh teladan agar selalu menghormati orang yang lebih tua. Selain itu, bahasa Melayu, bahasa Inggris dan bahasa Mandarin juga sedikit demi sedikit dipahami oleh masyarakat yang kerap menonton televisi negeri seberang.
Kondisi yang terjadi dua puluh tahun lalu ini ternyata tidak jauh berbeda dengan kondisi Kepri saat ini. Saat Indonesia telah memiliki banyak stasiun televisi swasta, anak-anak di Kepulauan Riau masih memfavoritkan program-program yang ditayangkan televisi milik negara tetangga. Film kartun yang ditayangkan televisi Kids Central Singapura menjadi tontonan paling dinanti anak-anak di Kepri. Belakangan, TV 9, televisi khusus anak-anak milik Malaysia juga jadi favorit para orang tua sebagai pilihan tontonan untuk putera-puteri mereka. Siaran televisi ini tidak hanya menayangkan film kartun, tapi juga memberi banyak pelajaran dan pendidikan terutama pendidikan agama Islam bagi anak-anak. Program belajar membaca doa dan mengenal huruf Al-Quran menjadi tayangan rutin sore televisi milik Negeri jiran ini.
Usut punya usut, ternyata selain alasan kualitas gambar televisi kita banyak yang tidak tertangkap bersih, kekhawatiran orang tua terhadap isi siaran televisi Indonesia juga jadi alasan mereka lebih memilih menyaksikan siaran televisi negara tetangga.”Anak saya sekarang selalu nutup kuping kalau dengar lagu grup band GIGI yang jadi soundtrack sinetron di TV-TV itu. Katanya ada ulat dan mayat,” keluh seorang ibu.
Jika harus membandingkan keragaman dan kreatifitas isi siaran, mungkin televisi kita bisa diacungi jempol. Tapi, jika membandingkannya dengan isi siaran yang lebih ”berisi, bermutu, memberi pendidikan, dan ada nilai-nilai yang disampaikan”, agaknya televisi negara tetangga adalah jagonya.
Meskipun layak jadi pilihan, namun siaran televisi luar juga perlu diwaspadai. Ini tak lain karena batasan pornografi dan pornoaksi di Indonesia dan negara luar tidak sama. Jam tayang film-film yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa juga berbeda. Dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia juga tidak berlaku di sana.
Begitu dilematisnya penyiaran di Kepri, Gubernur Kepri, Ismeth Abdullah pernah menyampaikan keluhannya kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepri saat audiensi beberapa waktu lalu. Menurutnya, isi siaran televisi Negara tetangga tak kalah bagus, tapi masyarakat Kepri jadi kurang cinta tanah air.
Blankspot
Yang lebih menyedihkan sebenarnya, terdapat beberapa pulau di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, sama sekali tidak bisa menangkap siaran televisi dan radio Indonesia. Jangankan yang berskala lokal, siaran televisi nasional yang punya stasiun relay di banyak tempatpun tidak bisa disaksikan oleh masyarakat Kepri di beberapa pulau yang berdekatan dengan Negara luar. Sebagian wilayah di Kabupaten Natuna dan beberapa daerah pinggiran di Kabupaten Karimun, Bintan, dan hinterland Batam seperti Pulau Terung dan Pulau Pemping termasuk kategori ini ( Catatan Lisya Anggraini dalam Seminar ”Penyiaran di Perbatasan”, 5 Juni 2006 ).
Dengan kondisi masyarakat hinterland yang jauh dari pusat informasi, terisolir, tidak mudah mengakses siaran Indonesia dan hanya menyaksikan siaran negara tetangga, menyebabkan wawasan kebangsaan menjadi rendah bahkan mungkin informasi tentang negeri sendiripun tidak mereka ketahui sama sekali.
Dari 2408 pulau di Kepri, terdapat 17 pulau terluar baik yang berpenduduk maupun tidak berpenghuni, rawan diambil Negara luar. Dalam rangka meningkatkan wawasan kebangsaan serta memberi informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial sesuai dengan fungsi penyiaran seperti yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, serta dalam rangka memperkukuh integrasi nasional, maka disinilah lembaga penyiaran berperan.
Dalam sebuah catatan hasil Dialog Publik dengan tema ”Menyikapi Berbagai Persoalan di Wilayah Perbatasan” yang diadakan Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Masyarakat Peduli Transmigrasi Indonesia di Jakarta Juni tahun lalu, salah satunya terdapat pemikiran bahwa perlu meningkatkan aktivitas penyiaran (broadcast) di sekitar wilayah perbatasan sebagai upaya untuk memelihara moralitas dan wawasan kebangsaan masyarakat yang ada di sekitar wilayah perbatasan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan menyikapi persoalan penyiaran di perbatasan? Mengacu pada tujuan penyelenggaraan penyiaran dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia, maka sangat penting meningkatkan kuantitas dan kualitas penyiaran baik dari segi isi maupun teknis di wilayah perbatasan agar terpelihara moralitas dan wawasan kebangsaan masyarakat yang ada di sekitar wilayah perbatasan.
Menata system penyiaran agar tidak terjadi tumpang tindih frekuensi serta membuat standar kelayakan peralatan dan kekuatan daya pancar khusus untuk lembaga penyiaran di perbatasan merupakan upaya agar kualitas tangkapan siaran menjadi lebih jernih sehingga lembaga penyiaran lokal bisa menjadi pilihan bagi masyarakat negeri sendiri.
Untuk itu KPID Kepri telah menetapkan standar kelayakan financial yang harus dipenuhi oleh lembaga penyiaran untuk menjadi lembaga penyiaran yang sehat dan mampu bersaing di Kepri maupun dengan lembaga penyiaran negara tetangga. Hal ini juga terkait dengan kualitas peralatan yang digunakan dan kelengkapan infrastruktur.
Program-program yang disajikan lembaga penyiaran di wilayah perbatasan juga harus dibuat berbeda, unik, mencerminkan identitas dan budaya bangsa, meningkatkan rasa cinta tanah air, serta memberikan informasi mendidik.
Kuantitas lembaga penyiaran di wilayah perbatasan juga hal yang harus dipertimbangkan. Ini terkait jumlah frekuensi dan kanal TV yang diperuntukkan bagi wilayah perbatasan. Negosiasi dan perundingan pengalokasian frekuensi di wilayah perbatasan yang setiap tahun dilakukan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dengan instansi serupa dari negara tetangga memegang peran penting.
Pendirian lebih banyak lembaga penyiaran yang mementingkan kepentingan publik serta melibatkan masyarakat merupakan upaya mengamankan pulau-pulau terluar serta dalam rangka memperkukuh integrasi nasional.
Dalam Lampiran Peraturan KPI Nomor 3 / P / KPI / 08 / 2006 tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran, pada Kelengkapan Dokumen Lembaga Penyiaran baik Publik, Swasta, Komunitas maupun Berlangganan disebutkan bahwa untuk daerah-daerah tertentu, seperti daerah terpencil yang tidak mendapatkan sinyal siaran sama sekali (blankspot) atau daerah konflik, diatur secara tersendiri. Maka dengan adanya pengkhususan bagi daerah blankspot merupakan angin segar bagi pengembangan aktivitas penyiaran di wilayah perbatasan. Dengan demikian penyiaran bisa memberi kontribusi besar bagi usaha pengamanan pulau terluar, meningkatkan rasa cinta tanah air dan wawasan kebangsaan, memperkukuh integrasi nasional, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meskipun siaran negara tetangga sudah membumi di masyarakat wilayah perbatasan, jika kualitas audio visual sempurna, program dibuat unik, berbeda, mencerminkan identitas bangsa, memberi informasi mendidik, serta lebih ’berisi’ dan melibatkan masyarakat lewat radio publik, radio komunitas atau televisi lokal, maka siaran negeri sendiri akan tetap jadi pilihan. Semoga!***
** Pernah dimuat di Newsletter Komisi Penyiaran Indonesia edisi Juli-September 2006